16 Agustus 2009

Konsep Pengecualian Hukum dalam PK Kontroversial

Oleh Al. Wisnubroto *)
[29/7/09]

Joko Tjandra dan Sjahril Sabirin bisa jadi merasa geram terhadap putusan Mahkamah Agung RI atas “PK (Peninjauan Kembali) Kontroversial” yang membatalkan Putusan Kasasi MA yang telah membebaskannya.

Tidak hanya mereka, sejumlah kalangan praktisi hukum dan akademisi pun serentak mengecam Putusan MA yang menerima PK yang diajukan oleh Jaksa tersebut (http://hukumonline.com/detail.asp?id=22669&cl=Berita). PK tersebut dinilai kontroversial karena diajukan oleh Jaksa, yang berarti tidak sesuai ketentuan dalam KUHAP. Oleh sebab itu Tim Penasehat Hukumnya berniat melawan putusan tersebut dengan upaya hukum yang tak kalah kontroversialnya yakni PK atas PK.

PK Kontroversial merupakan istilah yang dipilih penulis untuk menunjuk upaya hukum PK yang tidak lazim dan menimbulkan pandangan pro-kontra. Setidaknya ada tiga jenis PK yang digolongkan sebagai kontroversial yakni: PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum; PK atas PK dan PK yang diajukan lebih dari satu kali.

Ketiga PK tersebut dipandang kontroversial karena sebagian ahli hukum memandang PK tersebut menyimpang dari hukum positif (KUHAP), merusak sistem hukum acara, bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan menimbulkan potensi kesewenang-wenangan aparatur negara terhadap warga negara (dalam hal ini terpidana).

Aturan hukum positif tentang PK sendiri nampak memiliki keterbatasan dan bersifat multitafsir. Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara eksplisit menetapkan bahwa PK merupakan hak terpidana dan ahli warisnya. Namun dalam KUHAP tidak ada ketentuan yang melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan PK, apakah terhadap putusan PK dapat dilawan dengan PK atau upaya hukum lainnya, dan berapa kali PK dalam perkara pidana bisa diajukan untuk perkara yang sama. Kevakuman hukum ini sering dimanfaatkan oleh para pihak dengan masing-masing kepentingan dan penafsirannya untuk mengajukan PK yang kontroversial.

Filosofi melindungi pihak yang lemah
Konon KUHAP dibangun dengan filosofi perlindungan bagi pihak yang lemah dan rentan terhadap kekuasaan negara. Bila kekuasaan negara dalam sistem peradilan pidana dipahami sebagai aparatur penegak hukum yang dalam menjalankan tugasnya memiliki kewenangan yang amat besar, maka wajar bila KUHAP cenderung mengutamakan aturan mengenai hak-hak tersangka, terdakwa atau terpidana dan pembatasan kewenangan aparatur penegak hukum.

Dalam paradigma yang demikian maka tidak salah bila KUHAP mengatur bahwa PK merupakan hak bagi terpidana dan ahli warisnya sebagai pihak yang lemah dan rentan terhadap proses peradilan yang keliru. Demikian pula keberadaan asas “aturan yang menguntungkan bagi terdakwa” dalam sistem hukum pidana harus diletakkan dalam konteks ini. Jaksa tidak diatur haknya untuk PK dengan asumsi bahwa sebagai pihak yang mewakili negara dalam perkara pidana, jaksa telah diberikan kewenangan yang amat besar untuk membuktikan kesalahan terdakwa selama proses peradilan berlangsung.

Persoalannya muncul bila dikaitkan dengan kepentingan korban yang bisa jadi posisinya paling lemah dalam proses peradilan pidana. Para ahli hukum sendiri pada akhirnya mengakui bahwa KUHAP hampir tidak mengakomodasi kepentingan korban tindak pidana, sehingga perlindungan korban terpaksa harus dibuatkan undang-undang tersendiri yakni Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Dalam kasus-kasus kejahatan tertentu seringkali pelaku kejahatan memiliki kekuatan amat besar untuk memperdaya korban-korbannya, bahkan untuk menghadapi aparatur penegak hukum. Katakanlah kejahatan yang secara sistematis berkonspirasi dengan kekuatan politik dan ekonomi. Dalam keadaan demikian justru korban, masyarakat, aparatur hukum bahkan negara seringkali justru berada dalam posisi pihak yang lemah dan rentan terhadap manipulasi sistem hukum.

Korban, baik sebagai individu maupun masyarakat tentu juga memiliki hak untuk memperoleh keadilan termasuk untuk mengoreksi putusan tingkat apapun yang dinilai tidak adil. Dalam konsep peradilan negara, kepentingan korban telah diambil alih oleh Jaksa. Karena dalam sistem peradilan pidana korban tidak dimungkinkan secara langsung untuk menuntut pelaku tindak pidana, maka sebagai konsekuensinya Jaksa harus melayani kepentingan korban, termasuk mengajukan PK guna meraih keadilan yang sejati.

Butuh “Katup” Pengecualian
Untuk menegakkan kepastian hukum maka harus ada konsep pembatasan yang tegas terhadap tahap-tahap pengajuan upaya hukum. Namun demikian hak untuk menggapai keadilan harus dibuka seluas-luasnya yakni bila terdapat alasan yang secara rasional dan moral dapat dipertanggungjawabkan. Keduanya (kepastian dan keadilan) merupakan prinsip yang harus dipahami secara utuh bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Artinya kepastian hukum diperlukan dalam konteks pencapaian keadilan.

Dalam hal demikian pandangan legisme hukum atau legal-positivistik yang terlalu bersandar pada bunyi undang-undang demi kepastian hukum semata, sudah tidak memadai lagi sebagai instrumen pencapaian keadilan pada kasus-kasus yang kompleks dan bergeser dari asumsi yang dibangun saat perumusan undang-undang.
Bahwa keberadaan hukum positif (KUHAP) adalah tetap penting, akan tetapi penerapannya harus terbuka terhadap penafsiran yang progresif dan responsif.

Argumentasi ilmiahnya didasarkan pada logika empiris bahwa sebuah hukum positif selalu memiliki keterbatasan ruang dan waktu. Oleh sebab itu bila suatu ketika terjadi kebuntuan dalam mewujudkan tujuan pencapaian keadilan, maka harus dibuatkan suatu “katup” untuk membuka pengecualian terhadap kasus yang “tidak biasa” (anomali). Dalam pandangan hukum progresif, hukum tidak boleh didasarkan pada logika undang-undang semata, namun lebih dari itu harus bersandar pula pada esensi kemanusiaan yang didalamnya terdapat pertimbangan nurani, moral, empati dan integritas.

Apa yang dimaksud dengan “pengecualian” tidak boleh disalahtafsirkan sebagai “penyimpangan” atau “kesewenang-wenangan”, karena dalam sebuah pengecualian terdapat pertimbangan nilai-nilai fundamental melebihi pertimbangan yuridis-prakmatis. Dalam sistem hukum yang telah mapan diberbagai negara maju-pun dikenal adanya pengecualian sebagai alternatif penyelesaian perkara yang bahkan beberapa diantaranya bila dilihat dari pemahaman sistem hukum (positif) kita bisa dicurigai sebagai “penyimpangan”.

Dalam kasus-kasus yang “tidak biasa” seperti extra-ordinary crimes (misal: Kejahatan Lingkungan, Korupsi, Pelanggaran HAM berat) yang umumnya dilakukan oleh “pihak yang kuat” dan menimbulkan dampak serius bagi warga negara/masyarakat yang dalam hal ini pada posisi “pihak yang lemah” serta memiliki tingkat pembuktian yang sulit, maka demi pencapaian keadilan yang substantif PK oleh Jaksa yang melayani warga negara/masyarakat harus dipandang sebagai pengecualian.

Jadi dalam keadaan “normal”, aturan bahwa PK adalah hak terpidana dan ahli warisnya adalah prinsip yang harus ditegakkan. Namun bila keadaannya bersifat “anomali” harus ada sebuah pengecualian guna membuka kebuntuan hukum dalam pencapaian keadilan. Prinsip progresif dalam pengecualian PK kontroversial ini berlaku pula untuk PK atas PK dan PK yang diajukan lebih dari dua kali. Bila pengecualian yang berupa terobosan hukum (rule breaking) tersebut dipandang bisa memberikan keadilan yang substansial, maka ke depan seyogyanya pengecualian tersebut bisa diintegrasikan pada penyempurnaan aturan PK dalam hukum positif (KUHAP), agar tidak ada persoalan lagi pada kepastian hukumnya.

--------
*) Penulis adalah pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, Anggota Serikat Pekerja Hukum Progresif


Selengkapnya...

Mahkamah Agung Tak Sembarangan Kabulkan PK oleh Jaksa

Sumber : Hukum Online

Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan prinsipnya peninjauan kembali oleh jaksa memang tidak dibolehkan. Kecuali jaksa bisa membuktikan dan meyakinkan hakim agung ada kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar yang harus dilindungi.

Polemik seputar peninjauan kembali oleh jaksa memang kembali menyeruak baru-baru ini. Isu ini kembali mencuat setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa untuk perkara Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin. Pro kontra pun terjadi. Sejumlah pakar hukum bahkan menilai diterimanya PK oleh jaksa dapat merusak tatanan hukum Indonesia.

MA juga sempat dinilai tak konsisten. Dalam perkara lain, MA pernah menolak PK oleh jaksa dengan alasan PK memang hak terpidana atau ahli warisnya. “Pada prinsipnya, MA berpendapat bahwa PK oleh jaksa tidak dapat diterima,” ujar Ketua MA Harifin Tumpa di ruang kerjanya, Jumat (3/7).

Namun, lanjut Harifin, prinsip tersebut bisa disimpangi. “Kecuali jaksa dapat membuktikan dan meyakinkan hakim agung bahwa ada kepentingan umum dan ada kepentingan negara yang lebih besar yang harus dilindungi,” jelasnya. Karenanya, MA tak sembarangan mengabulkan PK yang diajukan jaksa. Dua syarat, adanya kepentingan umum dan kepentingan negara, harus benar-benar terpenuhi.

“Jadi jangan dibolak-balik, tidak semua PK oleh jaksa bisa diterima. Itu hanya pengecualian,” pinta Harifin.

Harifin menyamakan kasus PK oleh jaksa ini dengan putusan bebas yang dapat dikasasi. “Prinsipnya, MA berpendapat putusan bebas tak dapat dikasasi,” ujarnya. Namun, dalam perkembangannya, terdapat yurisprudensi yang berbicara hal ini. “Yurisprudensi menyatakan terhadap vonis bebas apabila jaksa bisa membuktikan bahwa itu bukan putusan bebas murni maka kasasi bisa diterima.”

Sekedar mengingatkan, advokat senior M Assegaf merupakan salah seorang yang kerap mengkritik PK oleh jaksa ini. Betapa tidak, dua kliennya dalam perkara berbeda, Pollycarpus dan Syahril Sabirin harus masuk bui karena PK oleh jaksa.

Assegaf bahkan sempat menunjuk nama Hakim Agung Djoko Sarwoko yang dianggap tak konsisten terhadap masalah PK oleh jaksa ini. Djoko Sarwoko yang pernah menjadi Ketua Majelis Hakim PK dalam kasus Pollycarpus dan Syahril Sabirin ini, pernah menolak PK yang diajukan jaksa. Ini tertuang dalam putusan No.84 PK/Pid/2006 atas nama terpidana H Mulyar Bin Samsi.

Dalam putusan itu, Djoko Sarwoko bertindak sebagai anggota majelis. Pada bagian pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah mengatur secara tegas dan limitatif bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya.

Harifin menolak bila koleganya disebut tak konsisten. “Justru Pak Djoko sudah konsisten,” ujarnya. Ia menegaskan secara prinsip PK oleh jaksa memang tidak bisa dibenarkan. Namun, lanjutnya, Djoko bisa menerjemahkan permohonan PK oleh jaksa yang sesuai dengan kepentingan umum dan kepentingan negara.

Menurut Harifin, MA tak akan sembarangan mengabulkan PK oleh jaksa. Ia mencontohkan kasus Pollycarpus, terpidana pembunuh aktivis HAM Munir. “Disitu kan menyangkut sorotan tentang HAM,” ujarnya.

Kedua, perkara Djoko Tjandra menyangkut kepentingan negara. “Disana ada uang negara,” tuturnya. Dengan dikabulkannya PK ini, lanjutnya, berarti jaksa telah berhasil meyakinkan hakim agung bahwa ada kepentingan umum dan kepentingan negara dalam kasus yang ditanganinya.

Isu PK oleh jaksa memang tak berhenti sampai di sini. Persoalan selanjutnya, bila PK oleh jaksa itu dikabulkan. Apakah hak terpidana akan gugur untuk mengajukan PK? Pasalnya, UU menyebutkan bahwa PK hanya bisa diajukan sekali. MA juga baru saja mengeluarkan Surat Edaran MA No. 10 Tahun 2009. Isinya, PK memang hanya boleh diajukan sekali dengan pengecualian.
Harifin menegaskan PK memang hanya boleh diajukan sekali. Namun, ia menyadari kadang-kadang pengadilan negeri sulit untuk menghindar apabila ada permohonan PK. “Kalau ditolak dianggap menghalangi hak seseorang,” ujarnya. Karenanya, Harifin mempersilahkan pemeriksaan itu tetap berjalan dengan mengirim permohonan PK itu ke MA. “Nanti kita akan mengambil sikap di MA,” pungkasnya.
(Ali)


Selengkapnya...

MA Larang Peninjauan Kembali Lebih dari Sekali

sumber : Hukum Online

Sikap Mahkamah Agung tertuang dalam SEMA No 10 Tahun 2009. Bentuk legitimasi MA untuk mengebiri hak seorang terpidana?

Advokat senior OC Kaligis, beberapa waktu lalu membulatkan tekadnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali untuk kliennya Djoko Tjandra. Djoko adalah terpidana kasus Bank Bali yang dihukum melalui putusan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu.

Saat itu OC Kaligis berdalih, Djoko belum menggunakan haknya untuk mengajukan PK. “Tentu saya akan PK. PK itu kan hak terpidana, kita belum pernah mengajukan PK,” katanya beberapa waktu lalu. Memang, faktanya Djoko belum pernah memohon PK. Justru pihak jaksa yang mengajukan PK karena pengadilan tingkat pertama dan tingkat kasasi membebaskan Djoko. Namun hingga kini OC Kaligis belum juga mendaftarkan permohonan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia masih menunggu kehadiran Djoko yang sedang berada di luar negeri.

Tampaknya OC Kaligis bakal gigit jari ketika mendengar kabar dari Mahkamah Agung (MA). Pasalnya, pada 12 Juni 2009 lalu Ketua MA Harifin A Tumpa meneken Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali. SEMA itu diberi nomor 10 Tahun 2009.

Dalam surat yang ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi se-Indonesia itu, Mahkamah Agung melarang pengajuan PK lebih dari sekali dalam kasus yang sama, baik pidana maupun perdata. Bentuk konkret pelarangan itu adalah MA memerintahkan Ketua PN dan Ketua PT untuk tidak menerima dan mengirimkan berkas PK ke MA.

Namun SEMA itu memberi pengecualian. Khusus untuk PK yang didasarkan pada alasan pertentangan putusan, MA masih memberi kesempatan untuk menerima berkas PK itu.

Juru bicara MA, Hatta Ali membenarkan keberadaan SEMA itu. Menurut dia, salah satu alasan lahirnya SEMA adalah demi kepastian hukum. “Karena berdasarkan UU Mahkamah Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman, PK itu hanya bisa diajukan satu kali. Kalau PK bisa diajukan berkali-kali, tidak ada habisnya dong? Nanti bagaimana kepastian hukumnya?” kata Hatta Ali lewat telepon, Rabu (24/6).

Alasan lain lahirnya SEMA adalah agar perkara PK di MA tidak menumpuk. “Serta untuk mencegah penumpukkan permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung,” demikian bunyi pertimbangan SEMA dalam paragraf pertama.

Timbulkan masalah baru
Pakar hukum acara pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda mengkritik lahirnya SEMA itu. Menurut dia, SEMA itu hanya menambah masalah baru. “Harusnya MA mengeluarkan sikap mengenai pengajuan PK oleh Jaksa,” kata Chaerul.

Seperti diketahui, pengajuan PK oleh jaksa sampai saat ini masih menjadi polemik. Pihak yang menentang mengacu pada KUHAP. Pasal 263 ayat (1) KUHAP misalnya yang menyebutkan secara tegas bahwa PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya.

Namun praktik berbicara lain. Jaksa pun kerap mengajukan PK. Contohnya, selain kasus Djoko Tjandra, jaksa juga pernah mengajukan PK dalam kasus Pollycarpus.

Praktisi hukum Luhut MP Pangaribuan juga mengkritik SEMA ini. Menurut dia, harusnya MA mengeluarkan SEMA yang melarang PK oleh jaksa. “SEMA ini menunjukkan bahwa MA mau mencoba memperbaiki kekacauan dengan kekacauan,” kata Luhut. Ia memprediksi kesalahan dan kekacauan hukum akan terus berlanjut.

Pengebirian hak terpidana
Lebih jauh Hatta Ali menuturkan bahwa SEMA ini tidak hanya berlaku untuk kasus dimana terpidana mengajukan PK lebih dari sekali. Contoh kasus ini adalah pengajuan PK lebih dari sekali seperti yang diajukan oleh terpidana mati Amrozi dkk. SEMA ini, lanjut Hatta Ali, juga berlaku untuk PK yang diajukan terpidana atas putusan PK yang diajukan jaksa. Contohnya adalah niat pengajuan PK yang akan dilakukan Djoko Tandra. “SEMA juga melarang PK yang seperti ini.”

Bagi Huda, SEMA ini seakan melegitimasi pengebirian hak terpidana. Pasalnya, ia menilai tindakan jaksa yang mengajukan PK adalah modus untuk menghilangkan hak terpidana mengajukan PK. “SEMA ini berarti melegitimasi modus jaksa untuk menghilangkan hak terpidana.”

Padahal, masih menurut Huda, mekanisme PK lahir dari kebutuhan terpidana yang merasa dirugikan dengan putusan pengadilan. Ia menyebutkan kasus Sengkon-Karta sebagai kasus lahirnya PK.

Seperti diketahui, Sengkon dan Karta sempat dijatuhi hukuman karena dianggap merampok dan membunuh Sulaiman dan Siti Haya. Tapi belakangan ketika Sengkon dan Karta menjalani hukuman, ada seseorang yang mengaku telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya. Nah, kasus ini lah yang memicu dimasukkannya lembaga peninjauan kembali dalam KUHAP. “Kalau SEMA bunyinya begini, berarti MA telah melanggar hakikat keberadaan PK dalam hukum acara pidana kita.”

Hatta Ali bukannya tak mengetahui kasus Sengkon-Karta itu. Ia membenarkan bahwa kasus itu yang memicu lahirnya lembaga PK. “Masalahnya berbeda. Karena banyak kasus dimana terdakwa yang diputus bebas, pasti tak akan mengajukan PK. Nah jaksa kemudian yang mengajukan PK. Sementara Undang-Undang mengatakan PK hanya sekali.”

Huda lagi-lagi mengkritik. Kali ini bukan ke MA, tapi ke kejaksaan. Menurut dia, jika jaksa melihat hakim keliru menerapkan hukum, seyogianya jaksa mengajukan kasasi demi kepentingan hukum. Bukan peninjauan kembali. Hal ini seolah-olah menunjukkan bahwa semangat yang ingin ditunjukkan jaksa dalam suatu kasus adalah untuk memenjarakan terdakwa. Bukan untuk menegakkan hukum.

Selengkapnya...



 

advokat & konsultan hukum Copyright © 2009 Premium Blogger Dashboard Designed by SAER