16 Agustus 2009

MA Larang Peninjauan Kembali Lebih dari Sekali

sumber : Hukum Online

Sikap Mahkamah Agung tertuang dalam SEMA No 10 Tahun 2009. Bentuk legitimasi MA untuk mengebiri hak seorang terpidana?

Advokat senior OC Kaligis, beberapa waktu lalu membulatkan tekadnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali untuk kliennya Djoko Tjandra. Djoko adalah terpidana kasus Bank Bali yang dihukum melalui putusan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu.

Saat itu OC Kaligis berdalih, Djoko belum menggunakan haknya untuk mengajukan PK. “Tentu saya akan PK. PK itu kan hak terpidana, kita belum pernah mengajukan PK,” katanya beberapa waktu lalu. Memang, faktanya Djoko belum pernah memohon PK. Justru pihak jaksa yang mengajukan PK karena pengadilan tingkat pertama dan tingkat kasasi membebaskan Djoko. Namun hingga kini OC Kaligis belum juga mendaftarkan permohonan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia masih menunggu kehadiran Djoko yang sedang berada di luar negeri.

Tampaknya OC Kaligis bakal gigit jari ketika mendengar kabar dari Mahkamah Agung (MA). Pasalnya, pada 12 Juni 2009 lalu Ketua MA Harifin A Tumpa meneken Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali. SEMA itu diberi nomor 10 Tahun 2009.

Dalam surat yang ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi se-Indonesia itu, Mahkamah Agung melarang pengajuan PK lebih dari sekali dalam kasus yang sama, baik pidana maupun perdata. Bentuk konkret pelarangan itu adalah MA memerintahkan Ketua PN dan Ketua PT untuk tidak menerima dan mengirimkan berkas PK ke MA.

Namun SEMA itu memberi pengecualian. Khusus untuk PK yang didasarkan pada alasan pertentangan putusan, MA masih memberi kesempatan untuk menerima berkas PK itu.

Juru bicara MA, Hatta Ali membenarkan keberadaan SEMA itu. Menurut dia, salah satu alasan lahirnya SEMA adalah demi kepastian hukum. “Karena berdasarkan UU Mahkamah Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman, PK itu hanya bisa diajukan satu kali. Kalau PK bisa diajukan berkali-kali, tidak ada habisnya dong? Nanti bagaimana kepastian hukumnya?” kata Hatta Ali lewat telepon, Rabu (24/6).

Alasan lain lahirnya SEMA adalah agar perkara PK di MA tidak menumpuk. “Serta untuk mencegah penumpukkan permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung,” demikian bunyi pertimbangan SEMA dalam paragraf pertama.

Timbulkan masalah baru
Pakar hukum acara pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda mengkritik lahirnya SEMA itu. Menurut dia, SEMA itu hanya menambah masalah baru. “Harusnya MA mengeluarkan sikap mengenai pengajuan PK oleh Jaksa,” kata Chaerul.

Seperti diketahui, pengajuan PK oleh jaksa sampai saat ini masih menjadi polemik. Pihak yang menentang mengacu pada KUHAP. Pasal 263 ayat (1) KUHAP misalnya yang menyebutkan secara tegas bahwa PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya.

Namun praktik berbicara lain. Jaksa pun kerap mengajukan PK. Contohnya, selain kasus Djoko Tjandra, jaksa juga pernah mengajukan PK dalam kasus Pollycarpus.

Praktisi hukum Luhut MP Pangaribuan juga mengkritik SEMA ini. Menurut dia, harusnya MA mengeluarkan SEMA yang melarang PK oleh jaksa. “SEMA ini menunjukkan bahwa MA mau mencoba memperbaiki kekacauan dengan kekacauan,” kata Luhut. Ia memprediksi kesalahan dan kekacauan hukum akan terus berlanjut.

Pengebirian hak terpidana
Lebih jauh Hatta Ali menuturkan bahwa SEMA ini tidak hanya berlaku untuk kasus dimana terpidana mengajukan PK lebih dari sekali. Contoh kasus ini adalah pengajuan PK lebih dari sekali seperti yang diajukan oleh terpidana mati Amrozi dkk. SEMA ini, lanjut Hatta Ali, juga berlaku untuk PK yang diajukan terpidana atas putusan PK yang diajukan jaksa. Contohnya adalah niat pengajuan PK yang akan dilakukan Djoko Tandra. “SEMA juga melarang PK yang seperti ini.”

Bagi Huda, SEMA ini seakan melegitimasi pengebirian hak terpidana. Pasalnya, ia menilai tindakan jaksa yang mengajukan PK adalah modus untuk menghilangkan hak terpidana mengajukan PK. “SEMA ini berarti melegitimasi modus jaksa untuk menghilangkan hak terpidana.”

Padahal, masih menurut Huda, mekanisme PK lahir dari kebutuhan terpidana yang merasa dirugikan dengan putusan pengadilan. Ia menyebutkan kasus Sengkon-Karta sebagai kasus lahirnya PK.

Seperti diketahui, Sengkon dan Karta sempat dijatuhi hukuman karena dianggap merampok dan membunuh Sulaiman dan Siti Haya. Tapi belakangan ketika Sengkon dan Karta menjalani hukuman, ada seseorang yang mengaku telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya. Nah, kasus ini lah yang memicu dimasukkannya lembaga peninjauan kembali dalam KUHAP. “Kalau SEMA bunyinya begini, berarti MA telah melanggar hakikat keberadaan PK dalam hukum acara pidana kita.”

Hatta Ali bukannya tak mengetahui kasus Sengkon-Karta itu. Ia membenarkan bahwa kasus itu yang memicu lahirnya lembaga PK. “Masalahnya berbeda. Karena banyak kasus dimana terdakwa yang diputus bebas, pasti tak akan mengajukan PK. Nah jaksa kemudian yang mengajukan PK. Sementara Undang-Undang mengatakan PK hanya sekali.”

Huda lagi-lagi mengkritik. Kali ini bukan ke MA, tapi ke kejaksaan. Menurut dia, jika jaksa melihat hakim keliru menerapkan hukum, seyogianya jaksa mengajukan kasasi demi kepentingan hukum. Bukan peninjauan kembali. Hal ini seolah-olah menunjukkan bahwa semangat yang ingin ditunjukkan jaksa dalam suatu kasus adalah untuk memenjarakan terdakwa. Bukan untuk menegakkan hukum.

0 komentar:

Posting Komentar | Feed

Posting Komentar



 

advokat & konsultan hukum Copyright © 2009 Premium Blogger Dashboard Designed by SAER